6 tahun sudah tragedi itu berlalu, tapi suara gelombangnya masih terdengar di setiap hembusan kenangan. Teriakan-teriakan dan jerit tangis saudara-saudaranya masih terasa menyesakan hatinya. Seorang gadis di tepi pantai memandang putaran ombak yang terus bergulung-gulung menyiram kenangan kecilnya.
Gadis kecil di tepi pantai, tak lagi rela dirinya disentuh deburan ombak air laut. Satu butir saja mutiara yang mengalir dari sudut matanya yang bulat.
Ayah, ibu, kakak, saudara, teman, halamanku, kini semua hanyalah kenangan. Jasadnya saja tak pernah kutahu rimbanya. Mungkin kalian semua berada di tanah ini, entah dalam pemakaman massal, atau di balik lumpur atau tanah yang kini di tutupi aspal. Atau juga di tengah samudra yang membentang luas ini.
Di atas tanah ini aku berpijak dan berdoa untuk kalian yang entah di mana. Kalau sampai kutemukan rimba persemayaman kalian … kalau sampai! Akan kutanami batu-batu di sisi kubur kalian, kutancapkan seonggok nisan untuk kalian, orang yang aku cintai. Dan kutulis nama-nama kalian dengan setiap huruf yang mengeluarkan air mata.
Tinggallah aku seorang diri, yang kian dibayangi oleh satu kenangan hitam yang menghapus seribu kenangan indah bersama kalian. Dengarlah doaku yang selalu menyertai nafasku untuk kalian di dalam perut bumi.
Bencana yang kita alami hanyalah sebuah awal dari bencana yang lebih besar. Kiamat kecil itu bukanlah tempat penantian kebangkitan sang kebenaran atau bahkan kedatangan ratu adil. Di tanah ini aku masih berdiri. Di antara pohon kelapa baru ini aku masih terbayang akan air yang seperti memusuhi rakyatku. Seluruh keluarga dibawa serta mengaliri hampir seluruh kota ini.
Kenapa aku ditinggalkan sendiri di tanah ini? lengan kananku pun telah memisahkan diri dari tubuhku. Oh, dunia kini sudah lebih dari Tsunami yang dahulu mengunjungiku. Kenapa aku tidak dibawa serta bersama ayah, ibu, dan saudara-saudaraku…?
Takkan lagi kubiarkan air laut membasahi tubuhku. Salahkah lautMu ini Ya Rabb? Lalu kemana dan kepada siapa salah? Di mana kucari dosa yang mengundang gelombang itu? Semua pikiranku ini takkan pernah habis untuk menjawab semua pertanyaan itu. Aku sama sekali tak bisa membenci air. Ia hanya akan menguap jika kubakar, lalu cair kembali. Ia hanya akan mengeluarkan embun jika membeku, lalu cair kembali. Air itu tak dapat disakiti. Mereka bersatu di mana pun.
Tapi hatiku selalu merasa puas bila minum banyak air ke dalam perutku. Aku seperti memiliki tenaga seperti air. Takkan rapuh dengan bencana apa pun yang datang. Aku akan terus kembali mencair. Dengan cara seperti inilah aku merasa tenang dan puas. Tanpa mengeluarkan air mata di hadapan ombak ini.
Di bawah sebuah pohon kelapa tepi pantai, sepasang kekasih memandang samudra sambil berpelukan. Tempat ini kembali ramai, tapi bukan lagi ramai dengan tawa canda bocah pantai dan para nelayan yang pulang berlayar. Tempat ini diramaikan dengan suara-suara orang asing yang asik menikmati udara pantai dengan minuman-minuman memabukkan. Tidak lupa para wanita asing berjejer sambil menemani mereka minum.
Kini, akulah yang menjadi turis di negeriku sendiri. Aku adalah salah satu dari rakyatku yang kehabisan lahan untuk berteduh, yang dibuat malu untuk menunjukkan jati diriku sendiri, yang dijajah dengan benturan-benturan peradaban, yang dipaksa telanjang untuk bertahan hidup, dan yang mesti memohon dan mengemis untuk dipertahankan di negeri ini.
Aku hanya wanita cacat yang pernah disantuni oleh pemerintah dalam setahun.
Aku hanya wanita cacat yang pernah ditangisi oleh masyarakat dunia sebagai korban dari sebuah tragedi.
Aku hanya wanita cacat yang kini sedang menghadapi gelombang jaman yang lebih besar dari tsunami yang dulu menelan seluruh keluargaku.
(untuk cut…yang kembali ke tepi)
0 Komentar untuk "Sepucuk Kisah Serambi Mekah"